Pranoto Mongso ditengah Perubahan Iklim
Perubahan iklim mengancam seluruh manusia, namun kelompok penduduk termiskinlah yang paling menderita, termasuk petani yang terkena dampaknya berupa puso (gagal panen) karena penyimpangan musim, kekeringan berkepanjangan dan kebanjiran. Maka perlu pantauan iklim disetiap daerah, upaya penghijauan, serta upaya efisiensi dan konservasi air.
Perubahan iklim yang akhir akhir ini menjadi perhatian orang diberbagai belahan dunia, yang paling merasakan dampaknya adalah petani. Puso atau kegagalan panen banyak disebabkan karena pengaruh ketidak tepatan musim ataupun banjir. Banjir bandang yang memporak porandakan berbagai daerah akhir-akhir ini tidak menutup kemungkinan merupakan dampak perubahan iklim global yang ekstrim. Perubahan ini ditandai oleh peningkatan suhu dan pola curah hujan, dimana terjadinya curah hujan yang sangat tinggi di atas normal. Curah hujan yang tinggi yang mencapai 240 mm/hari mengguyur daerah tangkapan hujan seperti Karanganyar dalam waktu yang lama akan menyebabkan terjadinya banjir dan tanah longsor. Korban jiwa dan tidak sedikit harta benda yang musnah karena bencana tersebut. Berpuluh ribu hektar areal pertanian baik sawah maupun tegalan yang puso akibat banjir bandang diberbagai daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur dan yang paling merasakan langsung adalah petani. Selain banjir, petani selalu dihantui kekeringan yang berkepanjangan dimusim kemarau dan ketidak tepatan tanam dalam usaha taninya. Petani dalam usaha taninya sangat tergantung oleh musim, sehingga adanya penyimpangan musim akan berpengaruh terhadap hasil usaha taninya. Pranoto mongso yang sudah mapan, yang digunakan sebagai pedoman petani di Jawa-tengah sejak dahulu nampaknya perlu adanya koreksi.